Kasih itu ….. memberi

Kasih itu Memberi.

 

Siang itu sebut saja Mbak Marti, perempuan sederhana yang bekerja di satu lembaga dimana aku bekerja, mendatangi ruanganku sambil menangis. Mbak Marti dengan berurai airmata menceritakan bahwa dia mengalami KDRT oleh suaminya. Perkataan yang menyinggung harga diri dan mendorong tubuh Mbak Marti dengan kasar, hampir tiap hari dilaakukan oleh suaminya. Mbak Marti mencintai suaminya, sebut saja Mas Angga, tapi Mbak Marti sangat tertekan dengan pernikahannya, ia tidak menginginkan perceraian dengan Mas Angga, tapi tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi sikap dan tindakan suaminya itu.

Pernikahan yang manis hanya berlaku 3 bulan saja, bulan berikutnya sampai hari itu dia datang ke kantor saya, hari-hari Mbak Marti diisi dengan isak tangis, kekecewaan, dan kegusaran hatinya kepada Mas Angga, suami yang dicintainya.

Mbak Marti cerita, saya ingin menikah dan diperlakukan dengan baik oleh suami saya. Saya ingin bahagia, tapi koq begini yang saya terima dari suami saya.  Kata Mbak Marti lagi sambil menangis, saya tidak ingin bercerai dari suami saya. Ini pernikahan kedua kalinya dalam hidup saya, mosok saya harus gagal lagi, dengan persoalan yang sama…. KDRT

Saya tidak mau bercerai dan mengalami kegagalan pernikahan lagi, tapi saya harus bagaimana…. kata Mbak Marti masih sambil mengusap airmata.

Pembaca yang baik, seperti Mbak Marti, banyak orang menuntut pasangannya untuk memberi kebahagiaan di dalam kehidupan pernikahan mereka.

Salahkah?

Salah, …. karena yang benar adalah ketika kita mencintai seseorang, kita harus memberi dan tidak menuntut.

Kasih itu …. memberi…. yang terbaik…. untuk orang-orang yang kita cintai.

Di dunia ini tidak ada yang bisa memberi kebahagiaan selain diri kita sendiri yang memilih bahagia … apa pun keadaannya (pesan istri John Maxwell dalam sebuah konferensi perempuan sedunia).

Saya membuka pandangan Mbak Marti tentang pernikahan.  Saya memberi saran kepadanya, “Mbak, kasih itu memberi. Mbak Marti harus mampu dan mau memberi perhatian yang tulus kepada Mas Angga, suamimu, memberi dukungan, memberi kepercayaan, memberi hormat dan menghargai Mas Angga sebagai kepala rumah tangga, memberi maaf, memberi dorongan semangat, memberi sentuhan lembut kepada suamimu,  memberikan senyuman terbaikmu, Mbak.”

Kami berbicara panjang lebar tentang kasih itu memberi. Saya sungguh berharap Mbak Marti memahami isi pembicaraan kami. Saya sungguh berharap ia menabur kebaikan, menabur pengertian, menabur kesabaran dan ketulusan untuk Mas Angga, suaminya.

Semoga Tuhan  membukakan pengertian kepada Mbak Marti, bahwa pernikahan yang sejati bukan berisi tuntutan antara satu terhadap pasangannya, melainkan memberi yang terbaik kepada orang yang kita cintai dan kasihi.

Dan saya berharap, Mbak Marti mau melakukannya terlebih dahulu karena istri adalah penolong bagi suaminya.

Jika suami belum mampu berperan sebagai suami yang baik, maka istri harus cepat tanggap menolong suaminya dengan jalan memberikan keteladan yang baik bagi suami untuk memaknai apa itu kasih dan bagaimana kasih itu bekerja.

Ada hukum kasih yang berlaku, bahwa karena ketika kita mau dan mampu memberikan yang terbaik, maka kemudian kita akan menerima yang terbaik pula.

Kasih itu … memberikan yang terbaik kepada orang yang kita kasihi, bukan masalah layak atau tidak layak, orang itu menerima kebaikan kita, tetapi kasih adalah dasar dari sikap dan tindakan kita ketika memberi.

Okey… pembaca… saya berharap Anda setuju dengan saya…. thank you.